Mungkin ikut bertanya-tanya dengan judul yang ada. Jika coba kita pikirkan, bagaimana mungkin orang miskin bisa dikatakan lebih dermawan? Lalu bagaimana dengan orang kaya? Apakah mereka tidak dermawan? Padahal jika dilihat dari kemampuan finansial, sudah seharusnya orang kayalah yang bisa menjadi lebih dermawan


Bai Fang Li

Pemikiran itu pun akhirnya terhenti di satu saat saya membaca sebuah artikel. Artikel yang menceritakan kisah nyata seorang tukang becak di China bernama Bai Fang Li. Selama 16 tahun Bai Fang Li menjadi tukang becak untuk membiayai 300 anak kurang mampu di desanya agar dapat bersekolah kembali. Setiap harinya beliau tinggal di ruang kecil di kota Tianjin hanya dengan makanan sederhana dan baju bekas yang dia dapatkan dari orang sekitar. Semua hal itu dia lakukan demi membantu biaya sekolah anak-anak kurang mampu. Perjuangannya tidak sia-sia, sedikitnya perhari beliau mendapatkan 20-30 yuan. Sampai pada akhirnya total sumbangan yang ia berikan kepada anak-anak tersebut mencapai 350.000 yuan.

Ternyata hal seperti ini tidak hanya terjadi di negeri China. Di negeri kita sendiri, saya sempat mendengar cerita tentang seorang pemulung yang rela menabung 7 tahun demi berqurban kambing saat hari lebaran haji. Melihat fenomena ini, jika kita berpikir secara awam, kita mungkin akan meragukan kebenaran kedua cerita tersebut. Bagaimana mungkin seorang tukang becak dan pemulung dapat menyumbang dengan jumlah yang lebih besar dari kebutuhan sehari-harinya? Hal apakah yang mendasari mereka bersikap begitu dermawan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut diungkap pada salah satu penelitian di California oleh Piff, Kraus, Cote, Cheng, dan Keltner (2010) mengenai perilaku prososial dan altruisme. Orang yang berperilaku prososial akan melakukan kegiatan yang memberikan keuntungan atau manfaat bagi orang lain, dibandingkan dengan dirinya sendiri. Seperti saat seseorang menolong atau berbagi dengan orang lain yang membutuhkan. Ketika seseorang dapat menolong orang lain tanpa pamrih (tidak mengharapkan imbalan), maka orang tersebut telah berperilaku altruisme.

Kelompok peneliti Piff dkk. melakukan penelitian ini dengan melihat perilaku prososial pada orang yang tergolong di kelas sosial rendah (miskin) dan kelas sosial tinggi (kaya). Selain itu, perilaku altruisme juga diukur dengan menggunakan permainan "Dictator game". Dalam permainan ini, partisipan diberikan 10 poin sebagai strategi yang dapat ia gunakan sendiri atau ia bagi kepada partner mereka (orang yang tak dikenal). Partisipan diberitahukan bahwa partner mereka tidak diberikan strategi apapun dalam permainan ini. Semakin banyak alokasi poin yang diberikan partisipan kepada partner, maka semakin tinggi tingkat altruismenya.

Hasil membuktikan bahwa partisipan yang tergolong di kelas sosial rendah mengalokasikan lebih banyak poin mereka kepada partner dibandingkan dengan partisipan yang tergolong di kelas sosial tinggi. Menurut penelitian ini, jumlah alokasi poin yang diberikan kepada partner menandakan tingkat perilaku dermawan seseorang.

Penyebab terjadinya perbedaan tingkat kedermawanan antar kelas sosial, dijelaskan lebih lanjut pada studi yang melihat kecenderungan kelas sosial (tinggi dan rendah) dalam merasa iba. Ternyata saat dihadapkan dengan orang tak dikenal, kelas sosial rendah akan lebih merasakan penderitaan yang dialami orang dalam menghadapi keadaan sulit atau mirip dengan dirinya sendiri. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan kelas sosial rendah lebih dermawan untuk memberi.

Setelah ditelaah lebih lanjut, ditemukan bahwa kelas sosial bukanlah alasan dasar yang mempengaruhi perilaku dermawan. Lebih dalam, satu studi melihat bagaimana persepsi seseorang terhadap keadaan finansial yang dimilikinya berpengaruh pada tingkat kedermawanannya. Pada penelitian ini partisipan diminta untuk menilai apakah keadaan finansial mereka saat ini sudah mencapai taraf aman.

Hasil penelitian menggambarkan bagi orang-orang yang merasa tidak aman (cemas) dengan keuangannya, akan memberikan nilai donasi yang rendah. Tapi pada kenyataannya mereka memiliki penghasilan yang tinggi (berada di kelas sosial tinggi). Hal inilah yang menyebabkan tingkat kedermawanan kelas sosial tinggi cenderung lebih sedikit.

Jika kita menyoroti fenomena ini lebih lanjut, dorongan seseorang untuk menjadi dermawan ternyata tidak ditentukan dari kelas sosial semata. Ada hal yang lebih mendasar yang dapat mempengaruhi keputusan kita saat berperilaku dermawan. Hal tersebut merupakan persepsi kita terhadap uang.

Dengan demikian, sudah seyogyanya seluruh lapisan kelas sosial dapat berperilaku dermawan, jika masing-masing individu bisa mengesampingkan 'pemikiran negatifnya' terhadap keadaan finansial yang ada. Karena jika kita berpikir harus menunggu kaya raya terlebih dahulu baru membantu orang lain, maka kita tidak akan pernah membantu orang lain. Karena kecemasan mengenai kondisi finansial akan selalu ada.

Membiasakan diri dengan berbagi mungkin tidak akan dirasakan langsung manfaatnya oleh kita. Akan tetapi, coba sejenak kita bayangkan apa yang bisa dihasilkan dari uang yang kita berikan. Selembar kertas dari kita bisa berubah menjadi nasi hangat yang dinikmati satu keluarga, pakaian bersih untuk tunawisma, masa depan cerah bagi anak jalanan yang bisa kembali bersekolah, atau mungkin sebotol obat untuk menyambung nyawa bayi terlantar. Semua itu terjadi saat kita mulai berbagi.

Seperti Kutipan pidato dari Sigrid Rausing, seorang Bilionaire Inggris: "It is only when you give it away, or consume, that money transforms from figures on a piece of paper to something in the world". Uang baru akan memiliki arti di dunia jika kita bisa berbagi dan menggunakannya dengan tepat.

Sumber