Suara jangkrik, kodok, maupun burung yang berkicau adalah musik terbaik yang bisa kita dengar. Capung beterbangan, dan kunang-kunang yang berkelap-kelip saat malam adalah pemandangan yang akan membuat kita tersenyum dengan mata. Namun di kota, kedua hal itu lebih sering menjadi barang langka. Kedua pemandangan ini jauh lebih mudah kita temukan di kehidupan desa.
Desa memang tak menawarkan kehidupan yang serba lengkap seperti di perkotaan. Lapangan kerja yang terbatas, listrik yang belum merata distribusinya, sinyal HP pun mati-nyala. Namun kehidupan desa yang sederhana itu justru bisa membuat diri kita begitu merindu. Entah kamu memang besar di desa atau sempat tinggal di sana sebentar saat dewasa – karena KKN misalnya – kehidupan desa memang begitu kaya, di balik segala keterbatasannya:
Bangun pagi di desa adalah rahmat tak terkira. Yang akan menyapamu bukan pemandangan motor atau debu, namun udara bersih dan aroma pepohonan yang basah oleh embun
Di desa, oksigen segar di pagi hari selalu tersedia. Tak harus pasang air purifier atau pemurni udara di rumah kita. Dari jendela, udara segar yang bercampur bau pepohonan maupun tanah lembab akan menyeruak dan menggelitik bulu-bulu halus di rongga hidung, sebelum akhirnya memenuhi rongga paru-paru, menggantikan karbon dioksida, lalu beredar dan mengalir bersama aliran darah. Oksigen segar ini tersedia melimpah tanpa adanya campur tangan polusi dari asap kendaraan. Setiap hari, secara alami.
Hidup tak habis untuk berpikir mau makan di mana. Tak perlu pula khawatir tentang boraks atau pestisida. Cukup makan kesegaran yang disajikan bumi, setiap hari.
Mereka sangat jarang, atau bahkan tak pernah menyantap makanan yang melewati proses pengawetan maupun pengalengan. Bahkan seringkali orang-orang desa membeli sayuran segar langsung dari para petani.
Jika ingin makan ayam, mereka tinggal menangkap dan memotong ayam kampung yang ada di kandang. Ayam kampung jauh lebih sehat daripada ayam broiler karena mengandung lemak yang rendah. Jika ingin menyantap ikan, mereka tinggal memancing di kolam maupun sungai. Tak perlu khawatir akan bahaya formalin!
Di desa, keluargamu bukan hanya adik, kakak, dan ayah-ibu. Ada tetangga dekat maupun jauh yang siap membantu dan mengasuhmu.
Bergotong royong, kerja bakti, saling membantu sesama adalah hal yang biasa dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Hampir-hampir tak ada jarak yang memisahkan antara satu orang dengan yang lainnya. Kedekatan inilah yang membuat warga desa menjadi layaknya seperti keluarga sendiri.
Di desa, sering pula kita menemukan bahwa mereka yang rumahnya berdekatan memang benar-benar bersaudara sedarah. Jika kita yang tinggal di kota biasanya bertemu sepupu hanya setahun sekali saat hari raya, mereka yang tinggal di desa bisa bertemu seminggu sekali atau bahkan setiap hari. Kecanggungan yang biasanya ada di antara saudara jauh saat reuni trah atau hari raya? Para penduduk desa tidak merasakannya.
Di kota, anak-anak bersekolah dari pagi sampai larut petang. Di desa, sekolah berlangsung 24 jam — karena pendidikan yang sebenarnya tak hanya berlangsung di ruang kelas saja.
Kerapkali kita melihat anak-anak di kota disibukkan dengan seabrek kegiatan. Mulai dari sekolah, les bahasa asing, kursus musik, sampai latihan renang dilakukan. Tak ada salahnya memang, karena orangtua ingin agar anak-anaknya bisa memiliki prestasi di berbagai bidang. Banyak anak pun akan belajar di sekolah dari pagi hingga siang, lalu dilanjutkan dengan kegiatan ekstra hingga larut petang.
Tapi di desa, pendidikan seorang anak berlangsung 24 jam. Mulai dari subuh hari kamu sudah harus bersih-bersih rumah. Jika punya kandang, kamu harus memastikan bahwa kandangmu sehat untuk binatang ternakmu. Mandi sebentar, lalu pergi ke sekolah. Jika pulang siang hari, wajib membantu ayah-ibu yang mungkin sedang sibuk di ladang atau pasar. Saat sore mengaji di surau hingga maghrib. Ini semua, bagi masyarakat desa, adalah "sekolah". Pendidikan tak seharusnya terhenti di dalam kelas dan di atas kertas-kertas, tapi juga harus membuat anak mengerti tentang kehidupan itu sendiri.
Di kota, kita membayar mahal untuk tempat tinggal dan ruang aktivitas yang tenang. Di desa, jiwa dan pikiran yang damai adalah hal yang begitu mudah didapatkan.
Berbeda dengan kita yang hidup di kota, seringkali kita dipusingkan dengan suara bising kendaraan bermotor, kereta, maupun hiruk pikuk orang yang berlalu lalang.
Meskipun suara bising kerap terdengar, itu-pun tak sampai mengganggu aktivitas masyarakat. Yang paling sering terdengar mungkin hanyalah suara kokok ayam jantan di pagi hari yang merupakan alarm alami yang memang ditugaskan untuk mereka agar bergegas bangun dan melakukan pekerjaan. Karena ketenangan ini-lah yang membuat warga desa jarang yang terserang stress dan penyakit serius.
Listrik dan sinyal yang tak terjamin bukan alasan untuk mengeluh. Justru karena ini, mereka tak selalu harus teracuni oleh apa yang ditawarkan televisi.
Kurangnya aliran listrik yang menjamah pedesaan tak selalu berdampak buruk. Bahkan tak tersedianya listrik maupun internet membuat masyarakat desa tak mengerti tentang berita-berita pasnas yang sedang terjadi. Hal ini membuat mereka tak terlalu peduli dengan keadaan diluar sana. Mereka tak peduli gosip, mengerti berita kriminal, dan tak peduli debat murahan yang sering ditayangkan televisi.
Ritme waktu yang berjalan lambat akan membuat kita menikmati hidup yang telah Tuhan anugerahkan
Kita terbiasa berpacu dengan waktu, meyelami ritme kehidupan kota yang cepat. Mulai bangun tidur kita disibukkan untuk bersiap-siap dan bergegas mengejar angkutan untuk berangkat ke kantor. Sepulang kerja kita harus berdesakan lagi di angkutan umum, belum lagi kemacetan yang sepertinya tak pernah surut. Waktu kita seakan tersedot habis untuk mengejar masalah-masalah duniawi.
Berbeda jauh dengan kota, ritme kehidupan di desa berjalan lambat, ketenangan menyelimuti tiap sudut desa. Dengan begini kita akan lebih bisa memaknai arti hidup, bahwa hidup tak hanya melulu untuk mengejar kekayaan duniawi. Lebih dari itu, kita juga harus sadar bahwa jiwa dan hati kita juga butuh ketenteraman.
Kota memang menawarkan banyak kemudahan dan materi. Namun, untuk mendapatkan itu banyak juga kemewahan yang harus kita "tendang" ke luar.
Berangkat kerja ke kantor di pagi hari, pulang di sore hari, tak jarang bahkan yang harus lembur demi mendapatkan uang tambahan. Belum lagi banyaknya godaan dari tempat-hiburan: bioskop, karaoke, klub malam, barang-barang bermerk, dan secangkir kopi semakin membuat kita merasa kecil dan kekurangan.
Pakaian harus merk A, sepatu harus yang berbahan kulit buaya, telepon genggam harus yang paling canggih, mau beli mobil harus yang berharga milyaran. Bak papan iklan yang berjalan kita rela membeli semua itu. Untuk apa? Tak lain dan tak bukan hanyalah untuk menunjukkan kepada orang-orang siapa diri kita sebenarnya.
Kesederhanaan akan membuat kita menjadi manusia yang lebih bisa bersyukur, lebih akrab dengan alam dan Tuhan
Mandi dan mencuci di sungai, makan siang di gubuk tengah sawah, dan melewati malam hanya ditemani sebatang obor maupun lampu minyak membuat mereka lebih menghargai dan mensyukuri hidup dan kesederhanaan yang telah diberikan kepada mereka.
Meski tak memiliki fasilitas yang berlimpah seperti di kota, masyarakat pedesaan justru amat sangat menjunjung tinggi kesederhanaan. Mereka tak perlu mobil mahal maupun pakaian bermerek. Yang terpenting bisa bertani dan mencukupi kebutuhan sehari-hari sudah untung. Tak perlu banyak menuntut, toh semua harta benda pada akhirnya tak akan dibawa ke kubur. Yang pasti amal kebaikan kita-lah yang akan menemani dan menolong kita di alam baka nanti.
Mungkin hal-hal diatas hanyalah contoh kecil kehidupan desa yang masih belum sepenuhnya terjamah modernisasi. Hipwee juga tak ingin mengatakan bahwa semua masyarakat kota hanya peduli materi, dan tak semua masyarakat desa senang akan kesederhanaan. Khususnya mereka kaum muda yang haus akan petualangan dan pengalaman, lebih memilih hijrah dari desa dan mencoba mencari keuntungan di kota. Pada akhirnya, semua kembali dari pribadi dan pendapat masing-masing
sumber
No comments:
Post a Comment