Aku selalu mengingatmu dalam kepala, meski ingatanku berhenti pada wajahmu yang lugu dan masih muda. Maklum, pertemuan kita terjadi terakhir kali saat usiaku juga belia. Setelah berpisah, kita tak lagi pernah berjumpa.
Yang membantuku mengingatmu adalah album-album lawas kumpulan fotoku dari bayi hingga balita (ah, waktu itu orang masih mencetak foto dari kamera!). Selalu kutemukan sosokmu di sana, entah sedang menggendong, menyuapiku, atau turut serta bertamasya bersama keluarga. Kau jarang menatap kamera — seolah-olah kau ada di foto-foto itu hanya untuk menemaniku, bukan karena tertarik pada kesempatan untuk mengabadikan wajahmu.
Ah, orang yang dulu selalu menyuapi dan memandikanku. Apa kabarmu? Aku tak bisa lupa kala aku menangis sejadi-jadinya sewaktu kau harus kembali lagi ke kampung halaman. Bibi, di manakah dirimu berada sekarang ini? Semoga kau masih menjejak bumi sehingga suatu saat kita bisa kembali bertatap muka. Sekaligus supaya kau tahu bahwa anak yang dulu pernah kau rawat ini sudah menginjak usia dewasa.
Kau dipanggil 'Bibi', meski tak sedarah dengan kami. Cara sederhana untuk menghargai kerja kerasmu yang tulus dan kasihmu yang murni.
Kau kami panggil 'Bibi', meski darahmu berbeda dari kami. Itu salah satu cara yang kami punya untuk menghargai jasamu bagi keluarga. Kau mengerjakan segala tugas yang dibebankan orangtuaku padamu dengan tulus, tanpa pernah punya banyak tanya. Tidak seperti pengasuh lain yang bekerja sekadarnya atau serampangan, kau bekerja menggunakan hati dan penuh ketelatenan. Sungguh, keluargaku sangat beruntung menemukan pengasuh sepertimu.
Pertama kali kita bertemu, Mama benar-benar kelimpungan karena harus kembali bekerja, sedangkan Papa mesti sering pergi ke luar kota. Kaulah yang kemudian mengasuhku sejak usiaku menginjak angka dua. Memang pada mulanya aku selalu rewel dan enggan bersamamu. Aku selalu merengek dan menangis setiap melihat Mama pergi ke kantor. Namun, kaulah yang kemudian dengan sabar membujukku dengan berbagai mainan dan camilan. Kadang, kau hanya menggendong-gendongku sampai tangisku reda — percaya bahwa yang kubutuhkan hanya dekapan hangat dan pengertian bahwa aku tak sedang dicampakkan.
Perlahan, aku mulai nyaman dengan kebaikanmu. Saat Mama pergi ke kantor pun bukan lagi yang terberat buatku. Di dalam gendonganmu, aku bisa melambaikan tangan mungilku ke arah Mama yang beranjak pergi. Aku ceria dan tertawa, Mama pun juga lega luar biasa.
Aku bukan anak yang penurut, selalu nakal tiap ada kesempatan. Terima kasih telah membimbing dan menemaniku dengan sabar.
Tentu kau memiliki hati seluas samudera. Ya, kau begitu telaten mengasuhku yang masih dalam masa pertumbuhan. Kau tidak pernah absen memberikan susu formula sesuai jadwal harian yang dibuat oleh Mama. Bahkan, kau tak pernah menyerah berjuang menyuapkan sayuran yang selalu kutolak dengan gelengan.
Segala kegiatanku di rumah pasti tak luput dari pantauan, kau memang tak pernah lengah. Saat waktu tidur siang tiba kau akan membimbingku ke kamar, bercerita panjang lebar supaya aku cukup tenang untuk terlelap. Kau juga yang menjauhkan segala gangguan, dari nyamuk hingga panas kamar, supaya tidurku tetap nyenyak.
Saat mandi sore juga merupakan saat yang cukup menguras kesabaranmu. Aku selalu saja merengek meminta mandi lebih lama karena memang aku gemar bermain air. Belum lagi ketika bajumu selalu saja basah kuyup karena ulah isengku. Namun, kau tak pernah menghardik atau mencubitku.
Saat usiaku menginjak angka tiga adalah masa dimana aku gemar bertanya. Dari hal remeh hingga hal besar tak luput kugubah menjadi pertanyaan, dan kaulah yang selalu menjadi korban. Ah, aku memang anak yang nakal — namun kau juga tak pernah murka atau hilang sabar. Kau selalu menjawab pertanyaan sebisamu, diiringi dengan senyum geli, atau bahkan menenangkan.
Betapa aku susah makan, terlalu aktif, dan selalu mampu membuatmu kewalahan. Betapa kau selalu sabar dan tenang di balik usia yang masih muda.
Aku tumbuh menjadi anak yang semakin 'kreatif' dan mewalahkan. Namun, kau selalu menyediakan kasih sayang dan hati lapang.
Makin beranjak besar, tingkahku pun makin beragam. Aku mulai berani membangkang dan tidak patuh. Tidak hanya terhadap Mama dan Papa, kadang aku juga melampiaskan kekesalanku padamu. Aku pun berulah ketika aku sedang marah. Mengacak-acak lemari pakaian, hingga melempar mainanku ke segala arah. Bahkan aku juga pernah membentakmu karena keinginanku tidak terpenuhi. Boro-boro membentak balik atau mencubitku, kau tak pernah sekalipun menunjukkan raut murka atau marah.
Apapun yang kubuang ke lantai, kau selalu memungutinya. Apapun yang kutumpahkan, kau selalu membersihkannya. Astaga, bahkan diriku sendiri yang saat ini tak akan tahan jika harus merawat diriku saat anak-anak dulu. Tapi kau? Kau tak begitu. Kau tak mengeluh atau melontarkan sumpah-serapah karena kenakalanku. Kau juga menerima dengan hati lapang, ketika saatnya pergi ke sekolah aku sangat sulit untuk dibangunkan.
Maafkan aku, Bi, aku yang masih kecil belum begitu mengerti betapa besar jasamu. Aku masih belum paham benar bahwa keluargaku berhutang jasa padamu. Dan sekarang, ketika aku telah menyadarinya, aku tak paham bagaimana cara membayarnya.
Di manapun dirimu saat ini, aku berdoa untuk kesehatan dan kepanjangan usiamu. Semoga kita bertemu lagi, supaya kau tahu betapa aku berterima kasih padamu.
Aku ingat Sabtu siang itu, ketika aku pulang dari sekolah dan menginginkan mie instan untuk menu makan siang. Aku memanggil dan mencarimu ke penjuru rumah, dengan tas ransel masih tersandang di bahu. Namun tak kutemui juga sosokmu, bahkan kamar tidurmu terlihat lengang tanpa ada barang. Aku kebingungan, bertanya pada mama dimana keberadaanmu.
Mama menarik napas sebelum akhirnya mengajakku berbincang. Kata Mama, kau berpamitan pulang ke kampung halaman dan tak akan kembali lagi.
"Kenapa nggak bilang aku?" tanyaku, antara marah dan tak percaya.
"Bibi tak sampai hati."
Tak kuat jika harus mengepak tas, melambai, dan pergi meninggalkanku di belakang. Karena itulah kau memilih pergi ketika aku sedang tak di rumah.
Kini tidak ada lagi acara main air saat mandi sore, acara menonton kuis kegemaran di kala senja, dan juga mie instan dengan telur mata sapi buatanmu. Aku menangis sekeras yang aku bisa. Kau bukan hanya orang asing yang tiba-tiba tinggal bersama kami: kau adalah kawanku, saudaraku, orang yang selalu setia menjagaku dari pagi hingga sore. Kau adalah sosok ibu kedua meski tak harus mengandung dan melahirkanku.
Lima warsa kau bekerja di rumahku, menemani serta merawatku dari aku belajar berjalan hingga menginjak bangku kelas satu. Sekarang aku sudah menginjak umur 20-an, sudah tak lagi perlu dibangunkan dan dimandikan. Terima kasih telah membuat hidupku nyaman ketika aku masih terlalu kecil untuk mengandalkan diri sendiri. Aku tak tahu cara berterima kasih langsung padamu, jadi aku sampaikan saja di sini. Semoga, entah bagaimana, kau bisa membacanya dan mengerti.
Aku berdoa, dari waktu ke waktu semoga usiamu dipanjangkan dan kau terus diberi kesehatan. Suatu hari di masa depan, kita harus bertatap muka lagi. Aku ingin berterima kasih langsung padamu. Dan hatiku sudah sakit karena menabung rindu.
sumber
0 komentar:
Post a Comment