Kondisi suhu politik di Indonesia pada periode 1965 amat panas. Partai-partai politik saling serang satu dengan lainnya untuk menancapkan pengaruh. Saling serang dan sindir ini bukan hanya terjadi antara sesama partai politik, namun juga antara partai politik dengan kekuatan lain, yaitu militer. Yang paling sensasional adalah konflik abadi antara Partai Komunis Indonesia (PKI), yang waktu itu merupakan partai dengan basis massa sangat besar dan masif dengan Angkatan Darat (AD).

 

Ketua PKI D.N. Aidit

Ketua CC PKI, D.N. Aidit mendapat applaus meriah saat berpidato di Komintern di Moskow sekitar tahun 1964. D.N. Aidit sangat disegani di kalangan tokoh-tokoh negara komunis luar negeri

 

Ketua Central Comite Partai Komunis Indonesia (CC PKI) Dipa Nusantara Aidit punya musuh bebuyutan abadi, yaitu Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani selalu menjegal langkah politik PKI. Sebaliknya, PKI pun selalu menyerang Angkatan Darat.

 

Massa PKI

Pada era 1960-an, PKI merupakan partai politik besar dengan basis massa yang masif, hal ini menjadi kekhawatiran partai-partai lain dan TNI AD
D.N. Aidit dan Yani memang tak pernah akur sejak awal. Suasana pun makin keruh oleh perseteruan Angkatan Darat dan PKI yang makin hari semakin memanas. Kalau diibaratkan, Yani dan Aidit bagai anjing dan kucing.

Ketika Yani dilantik oleh Presiden Soekarno untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Darat pada 22 Juni 1962, Aidit khusus menulis puisi untuk menyindir Yani. Puisi itu diberi judul Raja Naik Mahkota.

Udara hari ini cerah benar,
Pemuda nyanyi nasakom bersatu,
Gelak ketawa gadis Remaja,
Mendengar si lalim naik tahta,
Tapi konon mahkotanya kecil,

Ayo maju terus kawan,
Halau dia ke jaring dan jerat,
Hadapkan dia kemahkamah rakyat.

Sudah bukan rahasia lagi kalau Aidit dan PKI-nya tak menyukai gaya hidup Yani serta paar Jenderal lainnya yang borjuis. Mulai dari mini bar, koleksi jam tangan mewah, hingga hobi golf Yani. Yani yang lulusan Akademi Militer Westpoint di Amerika Serikat, sebuah akademi militer bergengsi yang mencetak banyak jenderal terkemuka Amerika Serikat, dinilai oleh PKI sebagai agen neokolonial dan imperialisme (Nekolim).

 

Jenderal Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani dikenal sebagai jenderal yang cakap dan mempunyai banyak pengalaman tempur di peperangan. Ketegasan dan kecakapannya ini membuat khawatir PKI sehingga ia kerap menjadi sasaran fitnah dan tudingan
Pada tahun 1963 saat Operasi Trikora di Irian Barat selesai, PKI melalui Aidit secara terang-terangan menuding Angkatan Darat memboroskan anggaran dan menyebabkan negara bangkrut. Saat itu kondisi perekonomian Indonesia memang morat-marit dan inflasi mencapai 600%.

Tuduhan tersebut membuat Yani marah besar dan membalas serangan Aidit. "Biar ada 10 Aidit pun tak akan bisa memperbaiki ekonomi kita," kata Yani saat itu.

Perseteruan Aidit dan Yani semakin mencapai titik didih saat Aidit mengusulkan pembentukan angkatan kelima yaitu buruh dan tani yang dipersenjatai. Aidit beralasan buruh dan tani akan dikerahkan untuk Dwikora menghadapi Malaysia dan serangan Nekolim. Usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Yani dengan sinis. Angkatan Darat tak mau PKI punya kekuatan bersenjata yang sewaktu-waktu bisa digerakkan demi kepentingan terselubung partai berlambang palu arit ini.

"Kalau Nekolim menyerang, semua rakyat Indonesia akan dipersenjatai. Bukan hanya buruh dan tani," sindir Yani dengan halus namun menohok Aidit. Apakah perseteruan mereka selesai? Belum, dan bahkan makin memanas.

Saat itulah beredar Dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Isinya menyebut ada kerjasama antara militer AS dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat yang menamakan dirinya Dewan Jenderal, yang dituding tak loyal kepada Presiden Soekarno. Dewan Jenderal diisukan siap mengkudeta Presiden Soekarno dan mendirikan pemerintahan baru. Nama Yani disebut terdapat di dalamnya. Terang saja Yani membantah keras isi dokumen tersebut.

Saat-saat negara makin genting memasuki pertengahan tahun1965, Yani tahu PKI akan segera bergerak, tapi dia meremehkan isu-isu dan informasi yang beredar. Intelijen Angkatan Darat pun ternyata gagal mendeteksi hal tersebut. Bahkan ketika mendapat laporan di rumahnya pada malam 30 September 1965, Yani masih tak bergeming dan baru berencana melaporkan kepada Presiden Soekarno di istana esoknya, 1 Oktober 1965.

 

Ketidakwaspadaan tersebut harus dibayar dengan sangat mahal. Yani tewas diberondong senapan Thomson dari jarak dekat oleh pasukan penculik pada 1 Oktober 1965 dini hari di rumahnya. Para jenderal pimpinan Angkatan Darat lainnya juga dihabisi pada waktu bersamaan. Mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di lubang buaya.

Tapi kemenangan juga bukan milik Aidit. Setelah G30S gagal, Aidit lari ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit tertangkap saat bersembunyi di sebuah ruang rahasia dalam lemari di rumah persembunyian di Desa Sambeng, dekat Stasiun Kereta Api Solo Balapan.

 

Penangkapan D.N. Aidit

D.N. Aidit (berbaju putih) saat tertangkap di rumah persembunyiannya di Solo pada November 1965. Tampak Kolonel Yasir Hadibroto (tengah) ikut narsis di sebelah D.N. Aidit

 

Pasukan Kostrad yang dipimpin oleh Kolonel Yasir Hadibroto mengeksekusi Aidit dengan berondongan peluru AK-47 sampai habis satu magasin di markas Batalion 444 TNI AD di Boyolali. Sama, jenazah Aidit pun dimasukkan dalam sumur tua yang kini sudah ditutup. Markas Batalion 444 tersebut kini menjadi mess Kodim Boyolali.

 

Makam D.N. Aidit

Foto lama ini menunjukkan lokasi di halaman belakang markas Batalion 444 TNI AD yang diyakini sebagai bekas sumur tua tempat jenazah D.N. Aidit dikuburkan oleh pasukan Kostrad dibawah pimpinan Kol. Yasir Hadibroto
Demikian akhir permusuhan Yani dan Aidit, hampir serupa walau tak sama. Keduanya bukan pemenang, hanya korban revolusi yang masih abu-abu.

(istimewa)