Presiden Kongres Yahudi Sedunia (WJC) Ronald Lauder pada Oktober 2011 membuat kehebohan lantaran komentarnya. Ia menyerukan kepada sahabatnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, untuk segera memulai lagi perundingan dengan Palestina.

Proses perdamaian memang sudah sembilan tahun terakhir buntu. Ganjalan terakhir, Tel Aviv kesal lantaran Presiden Otoritas Palestina Mahmud Rida Abbas meminta pengakuan kedaulatan atas negara Palestina. Sebelumnya, kedua pemimpin menolak bertemu karena Abbas mensyaratkan penghentian proyek permukiman di Tepi Barat sebagai syarat utama berunding.

Kontan saja, pernyataan Lauder menimbulkan pro dan kontra, seperti dilansir surat kabar Yediot Ahronot. Bukan sekadar perannya yang begitu penting. Tapi paling utama, ia adalah orang sangat kaya.

Majalah Forbes memperkirakan kekayaannya US$ 2,7 miliar. Keluarganya pemilik perusahaan kosmetik raksasa the Estee Lauder. Ia salah satu kolektor benda-benda seni terbesar sejagat dan mempunyai lusinan jaringan televisi dan media di Amerika dan dunia, termasuk seperempat saham di stasiun televisi Israel Channel 10. Ia juga penyumbang terbesar bagi organisasi Yahudi, lembaga, dan para pejabat di Israel, termasuk Netanyahu.

Sejatinya, bukan hanya Lauder yang menyokong Israel. Banyak orang-orang kaya Yahudi di Amerika menyumbang ke ribuan organisasi di negara Zionis itu, termasuk rumah sakit dan universitas. Hasil penelitian Universitas Hebrew menyebutkan dua pertiga sumbangan buat Israel berasal dari konglomerat di Amerika.

Tiap imigran baru menerima bantuan dari the Jewish Agency, dananya kebanyakan dari Amerika. Orang-orang Yahudi memperoleh tanah milik orang Palestina dibeli oleh Dana Nasional Yahudi (JNF). Seorang pelajar di yeshiva (sekolah seminari Yahudi) saban bulan mendapat US$ 295 dari pemerintah Israel dan US$ 885 sumbangan taipan Yahudi di Amerika.

The Jewish Encyclopedia mencatat terdapat sekitar 5,6 juta Yahudi di Amerika (tidak termasuk setengah juta warga Israel) atau sekitar 1,8 persen dari penduduk negara Abang Sam itu. Sebagian besar tinggal di kota-kota kaya: Miami, Los Angeles, Philadelphia, Boston, dan kebanyakan di New York.

Studi oleh the Pew Forum Institute pada 2008 menyimpulkan Yahudi merupakan kelompok agama dan etnis terkaya di Amerika. Sebanyak 46 persen orang Yahudi memperoleh pendapatan lebih dari US$ 100 ribu per tahun, ketimbang 19 persen dari seluruh warga Amerika. Hasil jajak pendapat Gallup tahun ini menemukan 70 persen Yahudi hidup nyaman dibanding 60 persen penduduk Amerika atau kelompok agama lainnya.

Lebih dari 100 dari 400 miliarder Amerika dalam daftar orang paling tajir versi Forbes adalah orang Yahudi. Enam dari 20 perusahaan terbesar di negara itu juga kepunyaan Yahudi.

Pendiri Google, Sergey Brin, berayahkan Yahud, Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg bersama wakilnya juga Yahudi. Begitu pula David Fischer (putra Gubernur Bank Sentral Israel Stanley Fischer), Ben Shalom Bernanke (Gubernur the Federal Reserve), pendahulunya, Alan Greenspan, dan sang pendiri, Paul Warburg.

Orang-orang kaya Yahudi ada di semua sektor kehidupan: Wall Street, Lembah Silikon, Kongres dan pemerintahan Amerika, Hollywood, serta jaringan televisi dan media.

Cerita keberhasilan orang Yahudi di Amerika jauh lebih fenomenal ketimbang betapa cepatnya mereka menjadi kaya. Ketika Amerika mendeklarasikan kemerdekaan pada 4 Juli 1776, hanya terdapat beberapa ribu orang Yahudi di sana, sebagian besar Marrano dan orang-orang kabur dari Spanyol.

Pada pertengahan abad ke-19, sekitar 200 ribu warga Yahudi berimigrasi ke Amerika, kebanyakan dari Jerman dan Eropa Tengah. Mereka menyebar ke segala penjuru dan membangun bisnis, mulai dari toko kecil, pabrik, hingga lembaga keuangan raksasa seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs.

Gelombang besar imigran Yahudi ke Amerika terjadi pada 1882, ketika Kekiasaran Rusia hampir runtuh. Di sanalah tempat tinggal setengah dari total orang Yahudi sedunia. Dalam 42 tahun, sekitar dua juta warga Yahudi dari Ukraina, wilayah barat Rusia, Polandia, Lithuania, Belarus, dan Rumania, bermukim di Amerika.

Alhasil, Amerika menjadi pusat konsentrasi Yahudi terbesar sejagat. Namun mereka mulai meninggalkan Amerika pada 1924, ketika negara itu menerapkan beleid menyetop kedatangan imigran.

Imigran Yahudi di Amerika datang berjubel-jubel dalam kapal dan kebanyakan miskin. Menurut Dr Robert Rockaway, 80 persen dari Yahudi Amerika bekerja di sektor manual sebelum Perang Dunia Pertama, kebanyakan di pabrik tekstil. Sebagian besar tinggal di permukiman kumuh di New York, yakni Brooklyn dan the Lower East Side. Saat itu, banyak lapangan kerja menolak menerima orang Yahudi karena kampanye anti-Semit yang dipelopori pengusaha Henry Ford. Alhasil, jangan heran jika banyak orang Yahudi menjadi mafia, seperti Meyer Lansky, Abner "Longie" Zwillman, dan Louis "Lepke" Buchalter.

Banyak imighran Yahudi berpaham sosialis aktif di serikat kerja dan terlibat unjuk rasa. Mereka juga mendirikan pelbagai serikat dagang. Mereka akhirnya berkembang lebih cepat ketimbang imigran lainnya. Menurut Dr Rockaway, pada 1930-an sekitar seperlima lelaki Yahudi memiliki profesi bebas, jumlahnya duka kali ketimbang seluruh penduduk Amerika.

Apalagi setelah kampanye anti-Semit melemah selepas Perang Dunia Kedua dan akhirnya hilang setelah munculnya Undang-undang Hak Sipil pada 1964. Perusahaan-perusahaan mulai menerima karyawan keturunan Yahudi.

Taji ekonomi keturunan Yahudi

Pada 1957, 75 persen orang Yahudi bekerja kantoran (ketimbang 35 persen dari seluruh orang kulit putih). Pada 1970, 87 persen pria Yahudi bekerja di bagian administrasi dari pada 42 persen dari total warga kulit putih), dan pendapatan pekerja Yahudi 72 persen lebih besar ketimbang rata-rata keseluruhan.

Inilah alasan kenapa imigran Yahudi lebih sukses ketimbang etnis lain hidup di Amerika. Mereka begitu memuja pendidikan. Menurut Hillel (organisasi mahasiswa Yahudi Amerika), 9-33 persen pelajar di kampus-kampus ternama di Amerika adalah keturunan Yahudi.

"Tradisi Yahudi selalu mengutamakan pendidikan dan orang-orang Yahudi berupaya keras bersekolah dari awal mereka tiba di Amerika," kata Danny Halperin, mantan atase ekonomi Israel di Washington. Ia menambahkan orang-orang Yahudi juga berjiwa bisnis dan penuh inisiatif.

Karena itu, wajar saja ekonomi kaum Yahudi di Amerika begitu bertaji.

sumber