Para ilmuwan meluncurkan kembali debat baru mengenai apa yang memicu lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, yang masih mengeluarkan lumpur tujuh tahun setelah ledakan lumpur itu terjadi.
Diterbitkan dalam jurnal Nature Geoscience, studi itu memperkuat argumen dari perusahaan gas PT Lapindo Brantas yang mengatakan bahwa bencana itu disebabkan oleh gempa jarak jauh, bukan dari penggalian oleh perusahaan tersebut seperti yang disebut-sebut para ahli.
Lumput tersebut menghancurkan 13 desa, puluhan pabrik dan toko serta jalan layang, mendesak pemerintah untuk membangun tanggul setinggi 10 meter untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. Hampir 50.000 orang harus mengungsi.
Riset baru tersebut, dari tim yang dipimpin oleh Stephen Miller dari University of Bonn di Jerman, mengatakan bahwa ledakan itu disebabkan oleh gempa bumi berkekuatan 6,3 Skala Richter yang terjadi dua hari sebelumnya dekat Yogyakarta.
"Kami menyimpulkan bahwa ledakan lumpur Lusi (Lumpur Sidoarjo) merupakan bencana alam," tulis tim tersebut.
Meski kedua peristiwa itu berjarak sekitar 250 kilometer, formasi bebatuan di Sidoarjo memiliki bentuk dan struktur yang bertindak seperti lensa, memperkuat dan memfokuskan gelombang energi seismik dari Yogyakarta, menurut model komputer tim ilmuwan tersebut.
Lonjakan energi tersebut dapat mencairkan sumber lumpur, menyebabkannya masuk pada patahan yang berhubungan dengan sistem panas bumi yang dalam. Ledakan yang sangat panas itu memicu letusan saat ini, menurut teori tersebut.
Saat diminta berkomentar mengenai studi tersebut, ahli geologi Inggris Richard Davies menunjuk pada laporan penggalian harian dari tim Lapindo Brantas di Sidoarjo.
Laporan tersebut menunjukkan eksplorasi gas yang kemudian menjadi kacau, ujar Davies.
Pada hari terjadinya ledakan, para penggali menyadari bahwa mereka memiliki masalah dalam menstabilkan tekanan dalam lubang, sebuah prosedur rutin yang menggunakan cairan-cairang yang disuntikkan, saat mereka mencoba menarik alat penggali, ujarnya.
Hal tersebut, dan kurangnya pelindung di sekitar lubang, "seperti menarik sumbat botol sampanye," menyebabkan "tendangan" lumpur tekanan tinggi timbul dari lubang tersebut, menurut Davies, profesor dari Durham University.
"Ketika gempa Yogyakarta terjadi, tidak ada yang terjadi dalam sumur. Tekanan dalam sumur telah jauh lebih besar dibandingkan dengan tekanan yang terjadi akibat gempa Yogyakarta," ujarnya.
"Mereka muncul dengan model geofisika yang detail namun saya kira mereka telah mengabaikan data yang lebih jelas," ujar Davies.
Para ahli seismologi secara luas, meski tidak dengan suara bulat, telah berpihak pada penjelasan ini. Beberapa mencatat bahwa gempa bumi yang jauh lebih besar telah terjadi sebelumnya dekat Sidoarjo tapi tidak menyebabkan ledakan lumpur.
Pada puncaknya, Lusi menumpahkan 180.000 meter kubik lumpur dalam sehari.
Saat ini, tingkat semburan turun antara 15.000 dan 20.000 meter kubik per hari, menurut Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Volume tersebut sama dengan isi enam atau delapan kolam renang ukuran Olimpiade per hari.
Amien Widodo, seorang ahli geologi dari Institut Teknologi 10 Nopember di Surabaya, mengatakan mustahil memprediksi berapa lama semburan lumpur akan terjadi.
"Jumlah lumpur telah jauh berkurang, namun melihat kasus-kasus lain di Jawa, mungkin saja semburan tersebut dapat berlangsung lebih dari 100 tahun," ujar Widodo.
Semua korban telah menerima sejumlah kompensasi, beberapa diantaranya dari pemerintah dan lainnya dari Lapindo Brantas, meski perusahaan milik keluarga Bakrie itu bersikeras tidak melakukan kesalahan.
Sekitar 5.000 orang masih menunggu pembayaran penuh.
Ogoh-Ogoh Aburizal Bakrie Dilarung di Kolam Penampungan Lumpur Segabai Simbol Penyebab Bencana Kemanusiaan di Porong, Sidoarjo.
nina/AFP/jurnal Nature Geoscience
sumber
0 komentar:
Post a Comment