Dalam berbagai kesempatan, kita bisa dengan jelas melihat jurang yang memisahkan si miskin dan si kaya di Indonesia. Di belakang perumahan mewah, sangat sering ditemukan perumahan kumuh. Ketika kita bisa makan enak di restoran mahal, ada orang yang harus rela menahan lapar karena tidak punya uang. Pertanyaan klasik ini pun jadi sering bergaung di telinga:
"Kenapa sih orang yang kaya makin kaya tapi mereka yang miskin jadi semakin miskin?"
Dalam artikel ini, Hipwee akan berusaha memaparkan penyebabnya. Selain itu, Hipwee juga akan memberimu cara agar bisa mengadaptasi apa yang orang-orang kaya lakukan. Dengan tujuan kamu bisa mendapatkan kekayaan seperti mereka, tentunya.
Seberapa Parahkah Ketimpangan Pendapatan Di Indonesia?
Perekonomian Indonesia berkembang dengan pesat. Di bawah kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,1% per tahunnya. Sementara presiden baru kita, Joko Widodo, menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.
Tapi kalau ekonomi kita bertumbuh dengan baik, mengapa masih ada dari kita yang miskin?
Demi menjawabnya, kita perlu melihat Indeks Koefisien Gini, sebuah mekanisme statistik yang memberikan cara untuk mengukur pemerataan pendapatan di sebuah negara. Indeks Gini memiliki 2 koefisien: 0 hingga 1. Koefisien 0 menunjukkan bahwa sebuah masyarakat memiliki tingkat pemerataan pendapatan sempurna, sedangkan koefisien 1 menunjukkan ada ketimpangan pendapatan yang parah di dalam sebuah masyarakat.
Ternyata, sebagaimana dilaporkan The Jakarta Post disini, ketimpangan pendapatan di Indonesia juga meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonominya. Pada tahun 1999, misalnya, koefisien Gini Indonesia tercatat berada di angka 0,31. Di tahun 2009, angka ini naik sebesar 0,06 ke 0,37. Satu tahun setelahnya, koefisien Gini Indonesia menunjukkan angka 0,38. Tahun 2011 kembali menunjukkan peningkatan koefisien Gini ke angka 0,41.
Padahal, PBB menetapkan angka 0,4 sebagai "batas aman" koefisien Gini. Jika suatu negara melebihi angka tersebut, kondisi ekonominya bisa berakibat buruk bagi stabilitas sosial-politiknya.
Pada Tahun 2011, 20% Orang Terkaya Indonesia Menikmati Hampir 50% Pendapatan Nasional Negeri Kita
Ketika pendapatan nasional suatu negara meningkat, ada beberapa manfaat yang dapat dirasakan masyarakatnya. Pertama, daya beli mereka akan meningkat. Contoh: orang yang tadinya hanya bisa membeli motor, sekarang sudah bisa menyicil mobil. Kedua, anggaran belanja negara tersebut pun meningkat. Pemerintah akan lebih giat membangun jalan raya, pembangkit listrik, dan infrastruktur lainnya. Gaji PNS pun jadi bisa dinaikkan.
Di negara dengan kesenjangan ekonomi yang besar, tak semua penduduknya dapat menikmati manfaat-manfaat itu. Inilah yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 1999, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa 20% orang dengan pendapatan tertinggi di Indonesia menikmati 40,57% dari keseluruhan pendapatan nasional. Di tahun 2011, angka ini mencapai 48,42% — alias hampir setengah dari total pendapatan nasional negeri kita.
Sebaliknya, 40% penduduk Indonesia dengan penghasilan terendah justru bernasib semakin buruk. Pada tahun 1999, mereka masih bisa "menikmati" 21,66% dari total pendapatan nasional. Di tahun 2011, mereka hanya bisa merasakan 16,85% dari keseluruhan pendapatan nasional di tahun tersebut.
Di Indonesia, pengangguran dan angka kemiskinan memang telah menurun. Banyak bandara baru dan jembatan keren yang telah dibangun. Gaji guru, dokter, dan dosen pun semakin oke.
Namun, yang menikmati dampak-dampak ini hanya segelintir dari kita saja. Mereka yang miskin dan membutuhkan masih tetap harus berjuang dengan sepeda motor usang, harga gula yang mencekik, serta infrastruktur sekolah yang menyedihkan. Pendeknya? Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Daripada Tidak Produktif Dan Terus-Terusan Menyalahkan Pemerintah, Lebih Baik Kamu Cek Diri Sendiri. Yakin Udah Siap Kaya?
Kita tentu berhak merasa kecewa pada pemerintah yang belum bisa mengatur pemerataan pendapatan bagi semua kalangan. Namun, terus-terusan menghujat tanpa melakukan apapun juga bukan jadi solusi. Sementara pemerintahan selanjutnya berbenah diri untuk menciptakan perekonomian yang lebih rapi, apa yang bisa kita lakukan?
Ada baiknya kita justru menjadikan hal ini sebagai bahan refleksi. Tentu bukan hanya kesalahan regulasi dong, kenapa mereka yang kaya makin kaya sementara mereka yang miskin tetap miskin. Pasti ada perbedaan mentalitas dan perilaku yang turut menyebabkannya.
1. Orang Kaya punya Visi yang Jelas Soal Hidup yang Ingin Mereka Bangun, Orang Miskin Justru Merasa Tidak Punya Kontrol Terhadap Hidup
Mentalitas siap kaya membuat seseorang tahu benar kehidupan macam apa yang ingin mereka bangun. Mereka tidak ragu-ragu membentuk gambaran tentang hidup impian dengan jelas di kepalanya. Visi yang sejernih kristal ini bisa jadi penyemangat ketika berbagai kesulitan menghampiri.
Mentalitas semacam ini tidak dimiliki oleh mereka yang miskin. Orang-orang miskin tetap miskin karena merasa tidak bisa mengontrol jalannya roda kehidupan mereka. Tidak jelasnya visi dan rasa "tidak punya kontrol" atas hidup membuat orang miskin tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.
Ibaratnya, visi yang jelas adalah peta yang bisa membawa orang kaya sampai ke tempat tujuan tanpa tersasar. Sementara orang miskin hanya puas dengan membaca arah angin.
2. Orang Kaya Berani Bermimpi Besar, Orang Miskin Cuma Omong Besar
Orang kaya punya keberanian untuk selalu bermimpi besar. Terkadang impian mereka terlihat tidak masuk akal dan mustahil untuk dicapai. Hanya orang yang siap kaya yang berani berkata lantang:
"Aku ingin jadi CEO."
atau:
"Aku mau punya pesawat jet pribadi."
Sementara orang miskin punya kecenderungan untuk menertawakan impian besar tersebut. Tidak jarang mereka mengeluarkan kata-kata meremehkan yang membuat si orang yang siap kaya itu tersudutkan. Barulah saat si kaya terbukti bisa mencapai impiannya, orang-orang miskin akan menutup mulut.
3. Orang Dengan Mental Siap Kaya Berpikir Untuk Menang, Sementara Orang Miskin Selalu Takut Kalah
Setiap dihadapkan pada persaingan, orang siap kaya akan memutar otak untuk memenangkannya. Persaingan dipandang sebagai hal yang wajar, menang dan kalah adalah hal yang harus dihadapi. Jika harus kehilangan sesuatu dalam persaingan, orang dengan mental siap kaya sudah siap menghadapi risikonya.
Di lain sisi, orang miskin akan selalu berpikir untuk melindungi apa yang telah mereka miliki. Mereka enggan berjudi nasib, masuk ke dalam persaingan demi mendapatkan pencapaian yang lebih besar. Orang dengan mental "miskin" akan merasa cepat puas terhadap apa yang sudah dimilikinya, meski jumlahnya belum seberapa.
Orang miskin kebanyakan jadi miskin selamanya karena tidak mau mencoba mengorbankan apa yang telah mereka miliki demi pencapaian yang lebih besar.
4. Dia yang Siap Kaya Fokus Melihat Peluang, Dia yang Siap Miskin Selamanya Hanya Melihat Rintangan
Perjalanan menuju sukses menuntut seseorang untuk melakukan banyak hal. Dalam prosesnya, akan banyak rintangan yang harus dilalui. Proses macam ini dipandang secara berbeda oleh orang yang siap untuk makin kaya dan orang yang siap miskin selamanya.
Orang dengan mentalitas siap makin kaya akan fokus memandang peluang. Dia akan melakukan segalanya demi mencapai tujuan akhir, yaitu kesuksesan. Segala permasalahan yang muncul sepanjang usaha mencapai kesuksesan akan dihadapi dan berusaha diselesaikan satu persatu.
Sebaliknya, orang yang mentalitasnya miskin hanya akan terpaku pada rintangan. Sedikit-sedikit ngeluh, sedikit-sedikit takut gagal. Akhirnya, orang dengan mentalitas macam ini akan terjebak dalam ketakutannya sendiri.
5. Orang Kaya dan Orang Miskin Dibedakan Dari Komitmen Mereka
Hal mendasar yang bisa menyebabkan perbedaan nasib seseorang adalah konsistensinya untuk menjalankan komitmen. Orang kaya akan menetapkan tujuan, bekerja keras, dan menunjukkan komitmen kuat demi tidak berhenti berusaha sebelum hal yang ingin tercapai ada di tangan.
Orang miskin juga punya impian, tapi mereka tidak berani menetapkan visi dan tujuan jelas yang ingin dicapai. Hasilnya, saat ada rintangan kecil di depan mata, orang miskin cenderung lebih gampang menyerah. Sementara orang miskin sibuk bermimpi, orang kaya sibuk mempertebal komitmen agar tidak menyerah di tengah jalan.
6. Orang Kaya Memilih Untuk Mengelilingi Dirinya Dengan Orang-Orang Sukses
Pernah dengar 'kan pepatah yang mengatakan bahwa kamu akan menyerupai 5 orang yang paling sering menghabiskan waktu bersamamu? Pengaruh dari lingkungan dan orang-orang terdekat memang cukup besar bagi kesuksesanmu.
Kalau mau kaya dan sukses, cobalah untuk selalu mengelilingi diri dengan rekan-rekan yang (minimal) ingin kamu samai level kesuksesannya. Kalau perlu, cari yang lebih hebat dan bisa kamu jadikan panutan. Bergaul dengan mereka yang sukses akan mengubah pola pikirmu soal pencapaian dan kegagalan.
7. Kemauan Belajar, Membedakan Mereka yang Akan Bertambah Kaya dan Mereka yang Akan Tetap Miskin Selamanya
Orang dengan semangat "ingin selalu bertambah kaya" tidak akan berhenti belajar hal baru. Dia sadar bahwa kesuksesan adalah kristalisasi dari proses belajar yang panjang. Jika dia penulis, ia akan banyak membaca buku demi memperkaya diksi. Kalau dia seorang pebisnis, dia akan terus mempertajam insting untuk membaca selera pasar.
Orang-orang yang tidak punya mentalitas ini akan merasa dia sudah tahu segalanya. Mereka enggan merendahkan ego dan membuka kepala untuk menerima ide-ide baru dari lingkungan sekitarnya. Nah, orang-orang yang mentalitasnya seperti ini nih yang biasanya gak akan tambah kaya.
Jadi kaya dan miskin itu bukan cuma perkara keberuntungan. Dia yang kekayaannya terus bertambah melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang-orang yang makin miskin.
Pilihannya ada di tanganmu. Kamu mau meniru kelompok yang mana?
sumber
0 komentar:
Post a Comment