image

KITA lihat banyak orang yang senang berbicara, tapi kurang terampil menjaga kemuliaan dengan kata-katanya. Banyak orang gemar berkata-kata tanpa bisa menjaga diri, padahal kata-kata yang terucap dari mulut seseorang harus selalu bisa dipertanggung-jawabkan.

Boleh jadi kata-kata itulah yang akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sebelum berkata apapun, kita yang menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan, kitalah yang ditawan kata-kata.

Rasulullah saw bersabda, "Barang siapa memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya. Dan barang siapa yang dirinya jatuh, maka akan banyak dosanya. Dan barang siapa yang banyak dosanya, maka nerakalah tempatnya." (HR. Abu Hatim).

Secara kasat mata, lidah hanyalah bagian kecil dari organ tubuh manusia. Ia lentur, tidak bertulang. Namun, di balik sifat kelenturannya ini, tersimpan kedahsyatan yang bisa mengantarkan manusia ke pintu kebahagiaan, sekaligus bisa menjerumuskannya ke dalam kehinaan hidup di dunia dan akhirat.

Abdullah ibn Mas'ud mengungkapkan, "Wahai lisan, ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Diamlah dari mengucapkan yang buruk-buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!"

Bicara memang gampang, tapi sering kali kita tidak memikirkan efek dari lisan kita. Dalam kitabnya Ihy' 'Ulmuddn, Imam al-Ghazali menetapkan banyak bicara yang merupakan "buah perbuatan" lisan sebagai racun pertama hati, yang menyebabkan manusia jauh dari cahaya Ilahi.

Lisan seseorang adalah cerminan dari baik dan buruk dan cerminan kualitas iman seseorang. Nabi saw bersabda, "Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya." (HR Ahmad).

Berhati-hatilah dalam menggunakan lisan ini; menggerakkannya memang mudah, tidak perlu menghabiskan tenaga yang besar, tidak butuh biaya mahal, tapi bencana bisa datang kepada kita hanya karena kata yang terucap oleh lisan. Berbicara itu baik, tapi diam jauh lebih bermutu. Dan ada yang lebih hebat dari diam, yaitu berkata benar.

Suatu hari Luqman al-Hakim diperintahkan majikannya untuk menyembelih seekor kambing dan mengambil dagingnya yang terbaik untuk jamuan tamu. Luqman pun membeli seekor kambing, kemudian menyembelihnya, lalu mengambil lidah dan hatinya untuk dimasak dan disajikan kepada majikan dan tamunya. Melihat hal itu, majikannya marah dan menegur, "Luqman, bukankah tadi aku perintahkan untuk mengambil daging terbaik untuk jamuan para tamuku?" Luqman pun menjawab, "Tidak ada daging terbaik kecuali lidah dan hati."

Beberapa waktu kemudian sang majikan memerintahkannya untuk menyembelih kambing kembali dan menyuruhnya agar membuang daging yang terburuk. Luqman pun pergi ke pasar untuk membeli kambing dan menyembelihnya, kemudian ia buang lidah dan hatinya. Melihat ulah Luqman, sang majikan pun kesal lalu berkata, "Apa maksudmu, wahai Luqman? Kemarin aku perintahkan untuk menyembelih kambing dan menghidangkan daging terbaik, tetapi kamu hanya menyuguhkan hati dan lidah. Sekarang, ketika aku menyuruhmu untuk menyembelih kambing lagi dan memerintahkan kepadamu agar membuang daging terburuk, kamu pun membuang hati dan lidah. Apakah kamu bermaksud mempermainkan aku?"

"Maafkan hamba, Tuan, tetapi apa yang hamba lakukan itu memang sudah sepatutnya. Tidak ada daging terbaik kecuali lidah dan hati, apabila digunakan untuk kebaikan. Dan tidak ada daging terburuk kecuali lidah dan hati kalau digunakan untuk keburukan," jawab Luqman dengan lugas.

Lisanlah yang dapat menciptakan pola komunikasi manusia dengan manusia lainnya. Lisanlah yang memunculkan segala bahasa. Lisanlah yang memberi nada segala rasa. Lisanlah yang menimbulkan nyanyian dan irama. Lisan dapat membuat hati yang rindu menjadi mesra. Lisan yang penuh nasihat dapat menenteramkan amarah di dalam dada. Lisan dapat memutarbalikkan segala peristiwa. Dan lisanlah yang bisa membuat orang menangis menjadi tertawa.

Lisan yang dihiasi pancaran iman dan akal yang sempurna akan selalu berzikir, beristighfar, dan mengucapkan hal-hal terpuji. Adapun lisan yang tidak dihiasai pancaran iman hanya akan melakukan hal-hal yang biasa dikenal dengan istilah bahaya lisan. Paling tidak, ada 5 bahaya lisan berikut ini yang perlu kita waspadai.

1. Dusta

Jujur itu disenangi oleh Allah, dan termasuk ciri orang beriman. Sebaliknya, dusta itu sangat dimurkai oleh Allah, dan termasuk ciri orang munafik. Rasulullah saw menyerukan kepada umatnya agar senantiasa membiasakan berkata jujur dan menjauhi ucapan dusta.

Dalam sebuah hadis dikatakan, "Hendaklah kamu berkata jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu akan membawamu pada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan membawamu ke surga. Seseorang tidak henti-hentinya berkata jujur dan membiasakan kejujuran sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Jauhilah olehmu perkataan dusta, karena sesungguhnya dusta itu akan membawamu pada durhaka, dan sesungguhnya durhaka itu akan membawamu ke neraka. Seseorang tidak henti-hentinya berdusta dan membiasakan dusta sampai ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Muslim).

Nabi menganjurkan umatnya untuk selalu berkata jujur karena kejujuran merupakan akhlak mulia yang akan mengarahkan seseorang kepada kebaikan, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi dalam hadis lain, "Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebajikan." Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan, ketaatan kepada Allah, dan berbuat baik kepada sesama.

Seorang mukmin yang hatinya senantiasa terkoneksi dengan Allah, tidak akan membiarkan lisannya berkata-kata tanpa batas, karena ia sadar bahwa setiap kata yang terucap dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak di hari kemudian. Berdusta adalah sesuatu yang tak mungkin terlontar dari mulut seorang mukmin.

Ali ibn Abu Thalib berkata, "Dosa paling besar di sisi Allah adalah kedustaan, dan seburuk-buruk penyesalan adalah penyesalan pada hari kiamat."

Jangan meremehkan dosa dari berkata dusta, sebab meski kata-kata itu sepele, bahaya dusta sungguh bisa menggelincirkan manusia dari jalan Allah. Bukankah manusia itu terpeleset karena sesuatu yang sepele? Dan perkataan dusta paling bahaya adalah berdusta atas nama Rasulullah saw. Dikatakan dalam sebuah hadis, "Barang siapa berdusta dengan membawa-bawa namaku, maka bersiap-siaplah untuk menduduki tempatnya di neraka." (HR. Bukhari).

Orang yang suka berdusta itu sesungguhnya mendapatkan dua kali kerugian. Pertama, jika kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa dari perbuatan tercela ini. Kedua, jika kebohongannya diketahui orang lain, mereka akan kehilangan kepercayaan. Bahkan, kepadanya akan disematkan predikat pendusta atau pembohong.

Orang yang berkata jujur dan tidak suka berbohong, secara psikologis tidak punya beban berat dalam hidupnya. Karenanya, hatinya senantiasa merasa tenteram dan damai. Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang dan dunia terasa sempit. Ia akan senantiasa merasa dihantui oleh perasaannya sendiri, karena ada perasaan khawatir kebohongannya diketahui orang lain.

2. Berburuk sangka (s'uzhzhan)

Ali ibn Abu Thalib berkata, "Buruk sangka melayukan hati, mencurigai orang yang tepercaya, menjadikan asing kawan yang ramah, dan merusak kecintaan saudara."

Alangkah tenteramnya hati yang tak mudah berburuk sangka. Jangan biarkan hal-hal yang remeh dan sepele, yang tak ada manfaatnya, mengotori, menyempitkan dan merusak kebersihan hati kita. Saat hati menyimpan prasangka kepada orang lain, lisanlah yang mengeluarkan kata-kata penuh sangkaan. Tidak ada buruk sangka kepada seseorang, jika lisan tak pernah berbicara sesuatu yang penuh prasangka.

Lisan yang terbiasa melontarkan perkataan-perkataan penuh prasangka(s'uzhzhan) dapat membuat hati menjadi busuk, karena apa pun yang kita sangka akan mempengaruhi cara kita berpikir, cara kita bersikap, dan cara kita mengambil keputusan. Berbahagialah orang-orang yang pandai berbaik sangka. Hati-hatilah dari prasangka karena prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.

Allah SWT berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang." (QS. al-Hujurt [49]: 12).

Imam al-Ghazali berkata dalam Ihy 'Ulmuddn, "Ketahuilah bahwa prasangka buruk (s'uzhzhan) adalah haram seperti halnya ucapan yang buruk. Sebagaimana haram membicarakan keburukan seseorang kepada orang lain, maka tidak boleh juga membicarakannya kepada diri (hati), lalu kita berprasangka buruk terhadap saudara sendiri. Jangan memiliki keyakinan hati terhadap orang lain dengan keburukan. Apa yang terlintas di dalam hati dimaafkan, bahkan keraguan juga. Yang dilarang adalah berprasangka, dan prasangka adalah kata lain dari sesuatu yang dijadikan sandaran yang hati condong kepadanya." Baca pos ini lebih lanjut