Kawasan perbatasan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste di Pulau Timor masih dililit masalah serius. Masalah itu di antaranya minimnya sarana dan prasarana pendukung pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial, serta ketahanan budaya. Kondisi itu membuat kian lunturnya rasa nasionalisme sejumlah warga di kawasan perbatasan.
Hal itu mengemuka dalam seminar nasional bertema "Strategi Pembangunan Kawasan Perbatasan" di Kupang, Rabu 29 April 2015. Acara dibuka Wakil Gubernur NTT Benny A Litelnoni. Kegiatan yang digagas Universitas Nusa Cendana Kupang dan Bank NTT ini sebenarnya mirip konsultasi publik guna menghimpun berbagai masukan membenahi kawasan perbatasan.
Sebagaimana disampaikan pemandu diskusi, Thomas Ola Langoday, pakar ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, tidak ada narasumber utama dalam acara itu. Para peserta yang diberi kesempatan berbicara sekaligus narasumber. Mereka di antaranya I Gede Suratha (Asisten Deputi Penataan Ruang Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan), Frans Gana (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Undana), Daniel Tagu Dedo (Direktur Utama Bank NTT), dan H Indra Hassan (pengusaha nasional asal NTT yang berdomisili di Jakarta).

Kompas.com/Sigiranus Marutho Bere Sejumlah Anggota DPRD Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) sementara mengecat pintu gerbang perbatasan RI-Timor Leste di Wini, Desa Humusu C, Kecamatan Insana Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU)
Menurut Benny Litelnoni, kondisi kawasan perbatasan yang masih terabaikan dan melunturnya rasa nasionalisme di kawasan perbatasan, bersumber dari sejumlah penyebab. Penyebab itu di antaranya keterbatasan jangkauan pembinaan juga dorongan orientasi dan peluang kegiatan ekonomi di negara tetangga. Penyebab lainnya adalah pengelolaan kawasan perbatasan yang belum komprehensif, termasuk belum jelasnya peran, fungsi, dan kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan.
I Gede Suratha mengakui masalah perbatasan menjadi tema "senyap" secara politis. Kalangan politisi terkesan jarang melirik masalah ini karena kawasan perbatasan umumnya berpenduduk jarang sehingga sepertinya dinilai menguntungkan dalam mengumpulkan suara ketika pemilihan legislatif atau pemilihan kepala daerah.

Warga negara Timor Leste dari Distrik Oecusse ikut mengibarkan Bendera Timor Leste di samping bendera Merah Putih saat penutupan Tentara Manunggal Membangun Desa (TMMD) di Desa Tasinifu, Kecamatan Mutis, Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, pada 4 Juni 2013
Padahal, katanya, masalah perbatasan itu martabat bangsa. Selain sebagai beranda depan NKRI, juga terkait pertahanan dan keamanan. Dengan demikian, pembenahannya menuntut perhatian serius semua pihak, termasuk kalangan politisi.
Frans Gana menyebutkan, APBN sebenarnya menyediakan dana triliunan rupiah untuk pembenahan kawasan perbatasan. Namun, implementasinya kurang fokus karena Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. "BNPP seharusnya langsung di bawah presiden sehingga pembenahan kawasan perbatasan bisa lebih fokus dan terarah," katanya.
Sementara Indra Hassan berpendapat, posisi NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia harus menjadi modal mendorong pengembangan ekonomi. "NTT salah satu kantong sapi nasional. Harus didorong pengembangan industri khusus sehingga sapi yang dipasarkan ke Jakarta berupa daging olahan," tuturnya.
sumber
0 komentar:
Post a Comment